Tentang West Papua

Gambaran umum

West Papua merupakan bagian barat Pulau Nugini. Daerahnya berbatasan dengan Papua Nugini dan menjadi bagian dari Indonesia melalui proses memalukan yang dikenal sebagai “Act of Free Choice” tahun 1969.

Penduduk West Papua berjumlah 3,6 juta jiwa, terdiri dari 48,7% orang asli Papua dan 51,3% orang non-Papua—demikian menurut sensus tahun 2010—dan meliputi lebih dari 250 kelompok etnis dan bahasa. Migran dari berbagai daerah Indonesia merupakan bagian besar dari populasi West Papua dan mendominasi perekonomian lokal. Mereka sudah menjadi mayoritas di pusat-pusat kota dan akan segera melebihi jumlah orang asli Papua secara keseluruhan. Mata pencaharian dan budaya Papua berada dalam ancaman serius dari proses peminggiran ini.​

Orang Papua adalah orang Melanesia dan mayoritas beragama Kristen, berbeda dengan tetangga mereka di Indonesia yang mayoritas Melayu dan Muslim. Wilayah ini sebelumnya dikenal sebagai West New Guinea, Irian Barat, dan Irian Jaya. Di bawah Pemerintah Indonesia sekarang, wilayah itu terdiri dari Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua provinsi ini sama-sama dikenal sebagai West Papua karena kesamaan identitas dan budaya mereka.

Seperti wilayah lain di Indonesia lainnya sekarang, West Papua dulunya merupakan bagian dari Hindia Belanda, tetapi tetap berada di bawah kekuasaan Belanda setelah Indonesia merdeka pada tahun 1949. Pada awal tahun 1960-an, wilayah ini sedang dipersiapkan untuk merdeka oleh Belanda tapi mendapat perlawanan dan serangan militer yang luar biasa dari Indonesia.

Menuju pemerintahan sendiri

Pada Februari 1961, diadakan pemilihan anggota Dewan West New Guinea, sebuah langkah penting dalam rangka menuju pemerintahan sendiri. Anggota Dewan menyelenggarakan Kongres Rakyat Papua Pertama yang, pada 19 Oktober 1961, menyetujui Manifesto Kemerdekaan. Kongres mengadopsi bendera Bintang Kejora sebagai simbol nasional, menyepakati nama negara (West Papua), nama rakyat (rakyat Papua) dan lagu kebangsaan.

Pada 1 Desember 1961, lambang-lambang kedaulatan West Papua itu diresmikan di hadapan pejabat Belanda. Orang Papua sejak itu merayakan 1 Desember sebagai Hari Kemerdekaan.

Namun, dalam konteks geopolitik Perang Dingin, Amerika Serikat (AS) ingin sekali mencegah Indonesia jatuh di bawah pengaruh Komunis. Pada 15 Agustus 1961, AS membujuk Belanda terlibat ke dalam Perjanjian New York bersama Indonesia, membahas masa depan West Papua. Tidak ada orang Papua yang diajak berunding, tapi perjanjian tersebut menetapkan bahwa semua orang Papua dewasa akan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri sesuai dengan praktik internasional.

Tindakan pilihan (tidak) bebas

Belanda kemudian menyerahkan West Papua kepada pemerintahan sementara Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), yang tinggal di West Papua hanya selama tujuh bulan, sebelum akhirnya menyerahkan kekuasaan itu ke Indonesia pada Mei 1963.

Setelah penyerahan kekuasaan itu, PBB gagal menyikapi kebijakan Indonesia yang represif dan gagal melindungi hak-hak orang Papua, yang sebelumnya telah dijamin oleh Perjanjian New York. Pada tahun 1969, sebanyak 1.025 orang Papua, dari sekitar 800.000 total populasi, diancam dan diintimidasi untuk memilih menjadi bagian dari Indonesia dalam plebisit yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). PBB secara kontroversial mendukung dan membiarkan ini terjadi tanpa keberatan.

Hak asasi manusia yang terus terancam

Setelah masyarakat internasional mengalihkan perhatiannya dari West Papua pada tahun 1969, selubung kerahasiaan menutupi wilayah tersebut dan hanya ada sedikit berita tentang pelanggaran hak asasi manusia yang meluas—termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, penghilangan, serta penangkapan dan penahanan sewenang-wenang—yang dilakukan oleh TNI-Polri. Ribuan orang diperkirakan terbunuh atau mati akibat kekuasaan Indonesia.

Meskipun menjadi salah satu wilayah Indonesia yang paling kaya akan sumber daya dan menjadi tuan rumah bagi perusahaan pertambangan pembayar pajak terbesar, Freeport, West Papua merupakan salah satu daerah termiskin dalam hal tingkat kemiskinan dan indikator pembangunan manusia dengan masalah serius di bidang layanan kesehatan yang tidak memadai, kematian ibu dan anak, HIV/Aids, dan rendahnya tingkat pendidikan.

Eksploitasi sumber daya alam

Eksploitasi sistematis atas sumber daya alam West Papua yang melimpah dan perampasan tanah skala besar untuk proyek-proyek agribisnis oleh korporasi Indonesia dan internasional telah menjadi penyebab utama ketegangan dan konflik.

Operasi ekstraktif telah mengabaikan hak atas tanah penduduk dan degradasi lingkungan yang parah. Area hutan yang luas diubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan produksi pangan dengan implikasi besar bagi perubahan iklim dan kehidupan masyarakat adat.

Beberapa pelanggaran hak asasi manusia terburuk terjadi di sekitar perusahaan besar, seperti tambang tembaga dan emas Freeport, yang mendapat ‘pengamanan’ dari TNI-Polri yang didanai perusahaan tersebut.

Penegasan ulang hak untuk menentukan nasib sendiri

Pascakejatuhan diktator otokratis Indonesia, Suharto, pada Mei 1998, rakyat Papua mengalami periode keterbukaan yang relatif di bawah kepresidenan singkat Bacharuddin Jusuf Habibie (1998-1999) dan Abdurrahman Wahid (1999-2001). Presiden Wahid mengizinkan Kongres Rakyat Kedua berlangsung pada Mei/Juni 2000. Kongres memutuskan untuk menolak hasil Pepera dan mendorong hak untuk menentukan nasib sendiri secara damai melalui dialog dan negosiasi.

Sementara Indonesia tengah membuat kemajuan substansial dalam transisi menuju demokrasi, rakyat Papua belum merasakan manfaatnya. Otonomi khusus, yang diperkenalkan pada tahun 2001, ditolak oleh majelis adat dan perwakilan masyarakat West Papua karena gagal meningkatkan hak dan kondisi kehidupan masyarakat Papua. Upaya lebih lanjut sekarang sedang dilakukan oleh para pemimpin adat dan agama West Papua untuk membangun proses dialog dengan Pemerintah Indonesia. Namun, tidak semua orang Papua mendukung proses tersebut karena kurangnya kepercayaan mereka kepada Pemerintah Indonesia; beberapa percaya bahwa pendekatan yang lebih langsung, melakukan referendum tentang status politik wilayah itu di masa depan, adalah jalan yang diperlukan.

Pada Juli 2011, Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan oleh Jaringan Damai Papua memberikan kerangka dialog dengan Pemerintah Indonesia dan agenda aspirasi untuk Papua yang damai dengan serangkaian “Indikator Papua, Tanah Damai” di bidang politik, hukum dan hak asasi manusia, ekonomi dan lingkungan, dan keamanan.

Penerapan pendekatan militer/keamanan

Terlepas dari seruan terus-menerus untuk melakukan dialog politik, pendekatan keamanan terus menjadi cara dominan pemerintah dalam menyelesaikan masalah West Papua. Operasi militer dan pendekatan keamanan yang keras merupakan ancaman serius terhadap hak asasi manusia dan kehidupan masyarakat Papua. Budaya kekerasan telah berkembang terkait dengan keyakinan aparat keamanan bahwa aktivitas politik dan advokasi hak-hak orang Papua dikaitkan dengan agenda separatis dan harus ditanggapi dengan keras.

Praktik kekerasan dan represi yang dilakukan oleh TNI-Polri meliputi: intimidasi; taktik teror; penangkapan dan penahanan sewenang-wenang; interogasi tanpa pengacara dan mempersulit akses untuk mengunjungi anggota keluarga; penyiksaan, perlakuan buruk dan mempersulit perawatan kesehatan selama penahanan; penembakan misterius; penghilangan paksa; dan pembunuhan di luar. Pembela hak asasi manusia juga sangat rentan mengalami intimidasi.

Pada Oktober 2011, tiga orang tewas dalam pembubaran paksa Kongres Rakyat Papua Ketiga oleh TNI-Polri di ibu kota provinsi, Jayapura. Kongres tersebut digelar oleh para pemimpin adat Papua bersama dengan berbagai faksi politik untuk membahas hak-hak dasar mereka dan diakhiri dengan deklarasi bahwa West Papua telah merdeka sejak tahun 1961. Lima pemimpin Papua diadili dan dinyatakan melakukan makar.

Orang Papua sering dihukum berat karena kegiatan politik yang damai, sebaliknya personel TNI-Polri yang terlibat dalam pelanggaran berat hak asasi manusia sering kali lolos dari hukuman atau diberikan hukuman yang ringan. Pada Januari 2011, tiga tentara yang terlibat penyiksaan brutal terhadap dua orang Papua pada Mei 2010, dijatuhi hukuman antara delapan dan sepuluh bulan penjara dengan delik pelanggaran disiplin ‘tidak mematuhi perintah atasan’.

Kebebasan berekspresi yang diabaikan

Aktivis Papua sering kali ditangkap dan ditahan hanya karena menggelar demonstrasi damai, seperti mengibarkan bendera Bintang Kejora atau menghadiri demonstrasi dan acara publik yang terkait dengan nasionalisme Papua. Mereka sering didakwa dengan pasal makar berdasarkan Pasal 106 KUHP, warisan hukum kolonial Pemerintah Belanda. Jika terbukti bersalah, mereka terancam hukuman penjara hingga dua puluh tahun atau seumur hidup. Banyak komplain dilayangkan atas penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap para tahanan politik dan kurangnya akses mereka ke perawatan medis yang memadai.

Pembatasan hak atas kebebasan berekspresi dan kriminalisasi kegiatan politik yang damai dengan cara tersebut adalah masalah mendasar yang menjadi perhatian di West Papua. Kebebasan berekspresi secara strategis penting untuk meningkatkan situasi hak asasi manusia secara keseluruhan dan untuk memastikan bahwa pembela hak asasi manusia dapat melaksanakan pekerjaan penting mereka secara bebas dari intimidasi dan kekerasan. Hal ini juga diperlukan untuk menciptakan syarat-syarat agar masalah politik West Papua dapat diselesaikan.

Tertutupnya ruang demokrasi akibat pembatasan kebebasan berekspresi merupakan langkah mundur dalam upaya memenuhi syarat-syarat untuk melakukan dialog dan penyelesaian konflik yang bermakna. Papuans Behind Bars berupaya mencari jalan keluarnya dengan mengangkat perdebatan serta perubahan praktik dan kebijakan yang mengarah pada terbukanya ruang demokrasi di West Papua.